Aktivis Katakan Jaksa Agung RI Jangan Sesumbar Soal Kasus HAM Di Papua

Manokwari – “Sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, saya mengingatkan Jaksa Agung Republik Indonesia dan jajarannya sebagai Pinyidik Perkara Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berat agar tidak cepat “sesumbar” di media massa bahwa pihaknya sudah periksa 37 saksi Kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai,” kata Yan Christian Warinussy di Manokwari, Papua Barat, Kamis (10/02).

Karena, ungkap dia, rakyat Papua hingga hari ini masih berada pada posisi sebagai korban kasus pelanggaran HAM Berat yang diduga keras pelakunya adalah negara Indonesia. Terduga pelaku di lapangan diduga keras adalah personil anggota TNI dan Polri yang bertugas di wilayah konflik di Tanah Papua.

“Itu telah terjadi semenjak integrasi tanah dan negeri Papua menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia tahun 1963 hingga saat ini. Jadi kalau baru 37 orang dan mereka adalah anggota polisi yang bertugas di Polsek Paniai Timur saja. Itu menurut saya belum cukup untuk menemukan bukti dan atau petunjuk ada tidaknya dugaan pelanggaran HAM Berat,” ungkapnya.

Akan lain pengertiannya, lanjut dia, jika Penyidik Pelanggaran HAM Berat dari Kejaksaan Agung RI telah memeriksa anggota-anggota Paskhas TNI AU yang bertugas di Enarotali saat itu. Sebab untuk bisa memeriksa mereka anggota Paskhas TNI AU, penyidik Kejaksaan Agung RI harus memperoleh ijin lebih dahulu dari Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.

“Ini baru berita namanya, karena dugaan keras mengarah dari hasil investigasi organisasi masyarakat sipil di Tanah Papua, termasuk Komnas HAM RI waktu itu,” katanya.

Lamanya penanganan kasus dugaan pelanggaran HAM Paniai sejak 2008, baru kini mulai disidik, sehingga cukup meninggalkan 1001 pertanyaan di benak keluarga korban dan rakyat Papua serta dunia internasional.

“Sehingga saya meminta Presiden Joko Widodo untuk memberi tekanan politik kepada Saudara Jaksa Agung RI ST Burhanuddin untuk tidak banyak buat pernyataan di media massa tanpa adanya kerja nyata yang maksimal dalam upaya mengungkapkan kasus dugaan pelanggaran HAM Berat Paniai,” katanya.

“Sebab masih ada dua kasus dugaan pelanggaran HAM Berat di Tanah Papua lainnya yang masih menantikan ke ja nyata Kejaksaan Agung RI, yaitu kasus Wasior (2001) dan Wamena (2003),” katanya lagi.(*)

Tinggalkan komentar