Pendahuluan
Memasuki tahun 2022 rencana Pemekaran atau Daerah Otonomi Baru (DOB) di tanah Papua mengalami eskalasi dalam pembahasan. DOB Papua ini mulai dibahas dari kalangan ellit hingga masyarakat akar rumbut. Rencana Pemekaran ini sudah dibahas dalam kurun waktu 3 tahun terakhir.
Di kutip dari republika.co.id Pemerintah menyatakan rencana untuk melakukan pemekaran Provinsi Papua menjadi lima wilayah administrasi. Kelima provinsi yang diusulkan pemerintah tersebut adalah Papua Barat Daya, Papua Tengah, Pegunungan Tengah, Papua Selatan, dan Papua Tabi Saireri.
Provinsi Papua sudah mekarkan satu Provinsi yaitu Provinsi Papua Barat yang disahkah melalui PP No. 24 tahun 2007 dengan wilayah yang mencakup kawasan kepala burung pulau Papua. Rencana pembentukan DOB kali ini disesuaikan dengan wilayah adat Papua yang terbagi menjadi tujuh wilayah adat yaitu Bomberai dan Domberai di Papua Barat serta Saireri, Tabi, Meepago, Laa Pago dan Anim Ha.
Semenjak awal pembahasan pemekaran Papua yang kemudian dituang dalam UU No. 2 tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua ini telah menuai banyak pro dan kontra.
Pemekaran daerah jika diartikan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah proses yang dilakukan untuk melebarkan suatu daerah dengan tujuan baik dalam hal administrasi pemerintahan, yang juga akan berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat didaerah yang belum mendapatkan pelayanan dari pemerintah secara baik, namun jika hal tersebut mendapatkan penolakan dari masyarakat artinya masih ada yang salah dalam prosesnya dan ini dapat menjadi potensi konflik dimasa depan.
Pembahasan
Teori CEWERS
Model analisis yang dilakukan didalam CEWERS dimulai dengan mengetahui 5W1H yaitu When, Where, What, Who, Why, dan How. Hal ini dilakukan untuk menganalisis sebuah konflik agar mendapatkan jawaban bahwa perlu ada sebuah peringatan dini terhadap potensi konflik yang diprediksi akan terjadi.
Dilihat dari fase konflik yang sedang terjadi, apakah konflik tersebut masih berpotensi atau sudah ada dalam tahapan ketegangan, krisis, kekerasan terbatas, kekerasan masal, dan abatemen. Selain itu, dilihat juga SAT atau Struktur, Akselerator, serta Triger.
Selanjutnya, akan dilihat orientasi para tokoh struktural, serta bagaimana cara untuk menyelesaiakan konflik yang ada dengan menggunakan teori penyelesaian konflik yang ada, dan melakukan analisasi momentum dan rutin.
Perencanaan CEWERS, Antisipasi Konflik Pemekaran
Berbagai kepentingan yang ada di Indonesia menjadikannya sebagai salah satu negara dengan potensi konflik yang sangat besar. Selain itu, beberapa negara lain yang bernegara didalam kepentingan poltik juga menghadirkan banyak konflik hingga kekuatan militer ikut dikerahkan. Akhirnya ada beberapa negara yang kehilangan legitimasi dari kelompok masyarakatnya membuat hubungan pemerintah dan masyarakat menjadi rentan.
Pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah memang jarang menimbulkan konflik karena sejatinya kebijakan dibuat untuk mencegah hal buruk terjadi. Namun ada apa dengan rencana pemekaran yang dilakukan oleh pemerintah yang kemudian mendapat pertentangan dari kelompok masyarakat di Papua.
Konflik Terkini
Tergambar jelas dalam satu tahun terakhir ketika Dewan Perwakilan Rakyat RI mengesahkan Undang-undang Otonomi khusus kemudian muncul pergerakan akar rumput yang menentang aturan tersebut karena dianggap Otonomi Khusus yang diberikan kepada Papua sudah gagal dalam pelaksanaanya selama 20 tahun semenjak 2001.
Mantan Komisioner HAM Natalius Pigai menilai kebijakan Otonomi Khusus Papua gagal mensejahterakan masyarakat Papua, misalnya berdasarkan hasil risetnya di Badan Pusat Stastistik bahwa jumlah orang miskin di Papua terus bertambah semenjak tahun 2001 hingga tahun 2019 dengan jumlah 26,360 orang. (dikutip dari halaman kompas.com tayang 18/02/21)
Meskipun mendapatkan banyak penolakan dari lapisan masyarakat Papua, Otsus tetap disahkan dan diundangkan untuk 20 tahun kedepan hingga tahun 2042. Bukan hanya otsus yang ditentang, isu pemekaran wilayah juga mendapatkan respon dari Kelompok Kriminal Bersenjata yang menyebutkan diri mereka sebagai Tentara Nasional Pembebasan Papua, yaitu :
Sebby Sambom selaku juru bicara menyampaikan bahwa bagi siapa saja pejabat yang urus pemekaran, TPN PB siap datang dan kasih lepu (leher putus). Warning juga diberikan kepada Gubernur Papua Lukas Enembe dan Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan serta para tokoh adat untuk tidak mengurus pemekaran. (Gambar yang dibagikan melalui pesan Whatsaap).
Dengan terdapatnya respon dari kelompok garis keras yang seyogiannya dapat mempengaruhi masyarakat akar rumbut di Papua maka ini menjadi hal serius yang harus dibahas.
Selain itu, terdapat juga eskalasi konflik bersenjata didaerah Maybrat, Papua Barat. Daerah tersebut selama ini dikenal damai namun dalam satu tahun terakhir sering terjadi kontak tembak antara kelompok bersenjata dan militer yang juga telah memakan korban jiwa.
Suara sumbang lainnya, muncul dari Majelis Rakyat Papua yang juga menyampaikan menolak wacana pemekaran provinsi Papua, Ketua MRP Timotius murib beranggapan bahwa pemekaran tidak memberikan pertolongan atau manfaat bagi orang asli Papua. (dikutip dari cendewasihpos.com tayang pada 18/01/22).
Penolakan juga datang dari Bupati dan DPRD Dogiyai yang pada tahun 2021 lalu sepakat menolak pemekaran Provinsi Papua Tengah, keputusan tersebut diambil dalam rapat internal dan sudah disampaikan juga kepada Asosiasi Bupati yang terbentuk untuk memekarkan Papua Tengah. (dikutip dari jubi.com)
Mahasiswa Papua yang tergabung dalam beberapa organisasi juga beberapa kali melakukan aksi untuk menolak pemekaran, seperti gabungan mahasiswa asal Papua yang mengeruduk Kemendagri untuk menolak pemekaran Papua, menurut gabungan mahasiswa tersebut bahwa pemekaran dapat merugikan warga Papua (dikutip dari okezone.com)
Dari hasil pengamatan, penulis menemukan beberapa fakta kenapa beberapa kelompok di Papua menolak untuk dilaksanakannya pemekaran, yaitu :
Akan terjadi marjinalisasi orang Papua atau dominasi penduduk pendatang dari luar Papua; Masyarakat Papua akan terpinggirkan;
Peluang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme juga akan terbuka;
Menghadirkan militer lebih banyak lagi Papua;
Terjadi konflik horizontal di Papua;
Terjadi penguasaan terhadap sumber daya adat yang dimiliki oleh orang asli Papua.
Hal-hal tersebut menjadi ketakutan sebagian kelompok di Papua yang tidak ingin Papua dimekarkan menjadi beberapa Provinsi.
Dari sisi yang berlawanan, terdapat juga kelompok yang mendukung pemekaran untuk tetap dilakukan di Papua, diantaranya ada kelompok masyarakat Papua Selatan dari suku asmat yang mendukung pemekaran Papua. Ada juga beberapa tokoh Papua lainnya seperti Hans Mote, Ondofolo Yanto Eluay yang mendukung proses pemekaran untuk dilakukan. (dikutip dari klikwarta.com 30/10/2021).
Beberapa tokoh nasional juga ikut mendukung pemekaran Papua dilakukan seperti politisi PAN dari Komisi II DPR RI, menurutnya pemekaran merupakan komitmen dari pemerintah bersama DPR RI terhadap percepatan pembangunan wilayah Papua. (dikutip dari tribunnews.com tayang 24/11/2021)
Asosiasi kepala daerah se-wilayah adat Saireri yang mendukung pelaksanaan pemekaran. Ada juga Senator asal Papua juga ikut mendukung pemekaran wilayah Papua, Wakil ketua I Komite I DPD RI, Filep Wamafma mendukung pemekaran Papua dari aspek demografi Papua dan Papua Barat. (dikutip dari mediaindonesia.com tayang 13/02/2022)
Dari kedua sisi ini menunjukan bahwa ada konflik secara tidak langsung yang terjadi diantara masyarakat Papua. Selain itu, dalam pengamatan penulis ada mosi tidak percaya yang dibangun oleh kelompok masyarakat kepada para kepala daerah yang mendukung pemekaran. Mosi muncul karena para kepala daerah dianggap tidak melakukan serap aspirasi masyarakat untuk rencana pemekaran, melainkan ada politik kepentingan untuk merebut kekuasaan.
Laporan 5WIH
When? Perbedaan pandangan yang menimbulkan konflik tidak langsung ini terjadi semenjak awal tahun 2020 ketika isu pemekaran mulai dibahas hangat seiring dengan rencana revisi undang-undang Otsus Papua digaungkan ke permukaan. Kemudian mulai mengalami eskalasi ketika Otsus disahkan dan hal mengenai pemekaran diakomodir didalam revisi undang-undang Otsus.
Where? Konflik ini terjadi secara tidak langsung namun memiliki potensi untuk terjadi secara langsung jika pemekaran terjadi. Saat ini masih sebatas adu argument di media sosial. sedangkan potensi terjadi secara langsung adalah bentuk ancaman yang disampaikan oleh KKB/TPNPB kepada kepala daerah atau pejabat terkait.
What? Perbedaan pandangan muncul tentang pemekaran ini menjadi salah satu triger yang akan memicu konflik. Bukan hanya konflik tentang mekar atau tidak tetapi opini yang muncul dari perbedaan pandangan ini juga memicu konflik bisa terjadi dari kekerasan terbatas hingga kekerasan massal. Seperti alasan yang muncul bahwa pemekaran dilakukan hanya untuk memobilisasi warga dari luar Papua untuk menguasai sumber daya alam Papua, memecah kekuatan ideologi lain selain Pancasila. Selain itu, ada ancaman yang datang kepada para kepala daerah, aspirasi yang disampaikan tanpa konsultasi mendalam dengan masyarakat.
Who? secara umum kelompok yang menolak pemekaran adalah kelompok dengan kepentingan politik atau kelompok pro referendum dan juga kelompok yang belum menemukan alasan utama kenapa pemekaran dilakukan. Serta kelompok yang mendukung pemekaran wilayah adalah Pemerintah pusat, Asosiasi kepala daerah tujuh wilayah adat Papua, dan beberapa kelompok mahasiswa serta organisasi kepemudaan.
Why? Tindakan dilakukan dengan kata-kata secara online maupun ofline, dan ditujukan secara langsung kepada oknum atau kelompok yang dilabel mendukung atau menolak pemekaran. Tindakan ini dapat memicu terjadinya kekerasan atau konflik fisik.
How? Konflik ini kemudian tidak hanya terjadi melalui omongan kata-kata, tetapi akibat dari konflik ini kemudian membahayakan nyawa orang lain yang tidak terlibat secara langsung. Seperti ancaman yang datang kepada kepala daerah dari KKB/TPNPB.
Fase Konflik
Dalam tahapan konflik akibat perbedaan kepentingan pemekaran wilayah ini sudah ada dalam tahapan adu argument. Selisih pendapat 80% terjadi melalui media sosial seperti di Whatsaap, Facebook, Instagram, dan Telegram. Sedangkan 20% lainnya terjadi didalam diskusi-diskusi yang dilakukan secara langsung antara stake holder dan masyarakat kelompok kepentingan.
Perbedaan persepsi ini mengalami eskalasi akibat demostrasi yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa dan pemuda dengan tujuan menolak pemekaran. Demonstrasi ini juga telah membuka ruang untuk dikaitkannya masalah konflik pemekaran dengan isu Papua Merdeka. Serta ancaman-ancaman yang muncul dari kelompok pro referendum kepada kepala daerah.
Demikian fase ini dapat menunjukan bahwa konflik kekerasan terbatas bahkan kekerasan masal sangat mungkin terjadi baik sebelum maupun pasca pemekaran dilakukan.
SAT (Struktur, Akselerator, Triggers)
Struktur? Perbedaan tingkat pendidikan, agama, daerah tempat tinggal, juga mempengaruhi perbedaan perspektif. Selain itu, pengambilan keputusan kadang tidak sesuai dengan permintaan masyarakat secara umum. Perbedaan tersebut kemudian meluas, disebarkan melalui media sosial yang menjadi angin panas yang menyuburkan api konflik.
Akselerator? Yang menjadi akselerator dalam konflik rencana Pemekaran adalah media pemberitaan (baca : framming media) dan media sosial. Berperan sebagai angin panas yang meniup api konflik, sehingga kobaran api semakin besar. Saat ini, setiap orang bisa menjadi pembuat dan penerima berita sehingga dengan sangat mudah informasi panas tentang pro dan kontra pemekaran provinsi dapat tersebar.
Triggers? Kelompok US VS THEM akan terbentuk, baik secara nasional maupun akan terbentuk didaerah-daerah. Kelompok ini terbentuk kemudian menggunakan visi mereka untuk melihat kelompok lain, sehingga kelompok lain akan dipandang sebagai kelompok yang salah.
Jika sudah terbentuk kelompok US VS THEM maka konflik harus segera diantisipasi, harus dilihat titik mana yang harus diperbaiki, agar tidak terjadi benturan yang kemudian menciptakan kekerasan masal.
Conflict Early Warning and Early Response
Berdasarkan penjalasan di atas maka beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai tanggap dini adalah :
Pemerintah perlu melakukan rapat dengar pendapat dengan masyarakat asli tentang tanggapan pemekaran;
Untuk menyerap aspirasi masyarakat dari 7 wilayah adat, pemerintah bersama DPR dan MRP menfasilitasi masyarakat adat untuk mengadakan rapat budaya (internal masyarakat) untuk mengetahui suara dari akar rumput;
Aspirasi tersebut kemudian didiskusikan dan didialogkan lagi dengan masyarakat dan masuk dalam tahapan tindaklanjut;
Kajian mendalam perlu dilakukan oleh akademisi orang asli Papua maupun Lembaga akademik lainnya tentang hal positif dan negatif pasca pemekaran dilakukan dan hasilnya harus disampaikan secara terbuka kepada masyarakat;
Konsultasi pemerintah daerah/ kepala daaerah/ asosiasi kepala daerah harus dilakukan secara terbuka agar tidak menimbulkan kecurigaan masyarakat kepada pemerintah;
Pembentukan Timsus DPR RI harus dilakukan untuk menganalisi setiap tindakan yang diambil agar tidak merugikan negara dimasa mendatang;
Antisipasi ancaman KKB/TPNPB kepada kepala daerah maka perlu dilakukan pengamanan tambahan dalam setiap pembahasan pemekaran dan kepada setiap kepala daerah di Papua;
Indonesia merupakan Negara Open Sky Policy (OSP) atau dalam artian segala informasi dari manapun diijinkan masuk ke dalam handphone dan keluar dari handphone kita, sehingga edukasi digital skill, digital culture, digital ethic, dan digital safety untuk masyarakat harus dimasifkan agar masyarakat tidak mudah terkena imbas dari berita bohong hoax;
Adu argument akibat rencana pemekaran ini memasuki tahapan saling salah-menyalahkan artinya pola yang digunakan untuk persiapan pemekaran harus dirubah untuk menekan eskalasi konflik;
Konflik yang terjadi di Papua akan selalu digiring kearah Politik sehingga segala tindakan yang diambil perlu dijaga agar tidak muncul collateral damage (dampak ikutan). Seperti rencana pemekaran tanpa persiapan dan konsultasi publik yang matang dengan masyarakat lokal akhirnya berbuntut pada tuntutan kemerdekaan dari kelompok tertentu;
Pemerintah perlu memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa saat ini sedang terjadi perang kognitif, yaitu perang yang dilakukan dengan cara merusak mindset kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga rasa nasionalisme dan jiwa patriotisme masyarakat akan berkurang jika masyarakat tidak memiliki manajemen kritis untuk mengelola dan melakukan perbandingan atas setiap informasi yang didapatkan.
Penutup
Pemerintah perlu memiliki peringatan dini untuk merespon dan mengantisipasi setiap tindakan yang mungkin saja akan menjadi sebuah konflik yang mengganggu keamanan nasional Indonesia. Seperti halnya 11 poin yang telah sampaikan oleh penulis sebagai upaya peringatan dini dan tanggap respon dalam mencegah konflik rencana dan pasca pemekaran di Papua, pemerintah perlu untuk terus membangun kepercayaan di antara masyarakat bahwa INDONESIA ITU MILIK BERSAMA dan harus di jaga.
Oleh: Steve Rick Elson Mara SH, M.Han
Analis Muda Indonesia
