Di Balik Keuletan Ojol Perempuan, Dilecehkan dan Diperlakukan Kasar

Jayapura – Transportasi online kini menjadi tren di dunia termasuk di Indonesia. Berbagai aplikasi moda transportasi berbasis digital ini bermunculan tak hanya menjemput dan mengantar penumpang namun berkembang ke pesan antar makanan dan belanja online.

Tren baru ini juga membuka kesempatan kerja yang luas bagi pencari kerja. Banyak orang yang bekerja menjadi pengemudi ojol atau pun taxi online online atau ojol termasuk perempuan. Bekerja di jalanan dan berhadapan langsung dengan penumpang membuat pengemudi ojol perempuan ini rentan mengalami pelecehan baik fisik maupun verbal.

R (29) adalah inisial  seorang pengemudi ojek online perempuan di Kota Jayapura, Provinsi Papua. Dia sudah bekerja selama dua tahun dan pernah mengalami pelecehan seksual akhir 2021 lalu.

Dia mengisahkan, saat itu ada orderan masuk dan langsung menuju titik penjemputan. Kebetulan penumpang yang memesan seorang laki-laki. Seperti biasa, setelah menemui penumpang, ia pun tancap gas mengantarkan sesuai rute yang dipesan dalam aplikasi.

Di perjalanan, R merasa pahanya diraba-raba dari belakang, seketika dia menghentikan sepeda motor dan menegur penumpang tersebut. Usai ditegur, penumpang meminta maaf, dan perjalanan dilanjutkan.

Namun tak lama setelah sepeda motor melaju, penumpangnya kembali melakukan pelecehan dengan mengeluarkan alat kelaminnya dan menempelkannya di bokong R. Sontak saja, dirinya terperanjat dan langsung menghentikan sepeda motor dan berteriak marah.

Ia pun menyelesaikan orderan memberi penilaian bintang satu serta memberi ulasan pada aplikasi mengenai tindakan pelecehan yang dialaminya. Melihat ulasannya, pihak admin Ojol pun langsung mengkonfirmasinya untuk memastikan keberadaan dan keselamatannya dan membekukan akun penumpang tersebut.

Usai kejadian, R mengaku ketakutan dan merasa trauma namun dia enggan melaporkan kejadian ke polisi karena merasa hanya membuang waktu saja. Dia pun tetap memutuskan mengojek mesti trauma karena desakan ekonomi.

Pengemudi ojol perempuan lain yang juga pernah mengalami pelecehan adalah A. Dia menceritakan saat menunggu antrean orderan, seorang rekan ojol lainnya menepuk bokongnya dari belakang.

“Saya terkejut dan kaget, setelah mengantarkan orderan saya pulang,” kata A karena mengaku sangat malu dan syok.

Selain pelecehan fisik, A juga pernah mengalami kekerasan verbal melalui kolom chat aplikasi ojolnya. Saat itu ada pelanggan yang tidak puas dengan orderannya dan memakinya di kolom chat tersebut.

Selain rentan mendapat pelecehan, driver ojol perempuan juga berisiko mendapat kekerasan, seperti yang dialami Ronny Simorangkir (51). Dia mengaku pernah dijambret oleh orang yang tidak diikenal. Dampak dari peristiwa itu, Ronny hanya melayani orderan di siang hari saja dan menghindari malam hari.

Meski profesinya cukup rentan, Ronny tetap bertahan karena penghasilannya cukup bisa memenuhi kebutuhan keluarga dengan waktu kerja yang fleksibel.

“Pekerjaan ini memang tinggi risiko tapi tidak mengikat, jadi kapan saja saya ingin istirahat bisa langsung mematikan,” jelas ibu tiga anak ini.

Selain itu, Ronny juga bergabung dalam komunitas ojol Jayapura, sehingga sangat terbantu dimonitoring saat mengantarkan penumpang atau orderan ke tempat rawan.

Penanggung jawab komunitas Solidaritas Lintas Ojol Jayapura, Ali Ridwan Patty mengakui kalau dalam tiga tahun terakhir ini telah banyak ojol yang mengalami kekerasan baik yang laki-laki maupun perempuan.

“Secara teknis penyelesaian masalah yang terjadi di lapangan dibahas dalam wadah atau group, informasi dibuang dalam wadah kemudian langsung direspon dan mengecek ke lapangan (lokasi) dan melakukan pendampingan terhadap driver,” kata Ali.

Komunitas menurut Ali melakukan pendampingan terhadap pengemudi ojol yang mengalami kekerasan seperti jambret, pemerasan maupun pemukulan. Umumnya peristiwa kekerasan dialami pengemudi laki-laki. Dari kasus-kasus yang terjadi, ada yang dilaporkan ke polisi, namun ada juga yang diselesaikan secara damai.

“Sedikitnya telah ada sembilan kasus kekerasan yang pernah didampingi oleh Solidaritas Ojol Jayapura. Bahkan pernah ada, kasus penipuan yang dialami driver yang pelakunya juga seorang perempuan,” kata Ronny.

Komunitas Ojol Jayapura selama ini menurut Ali belum pernah menangani kasus-kasus terkait pelecehan seksual yang dialami pengemudi ojol perempuan. “Kami tidak menerima laporan langsung, hanya mendapatkan cerita dari sesama rekan ojol,” kata Ali.

Perlu Aturan yang Melindungi Pekerja Berbasis Digital

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Jayapura Nur Aida Duwila menyatakan keprihatinannya atas peristiwa kekerasan dan pelecehan yang dialami pengemudi ojol perempuan di Jayapura.

Dikatakannya,  perempuan bekerja untuk mencari nafkah bagi anak-anak dan keluarganya. masyarakat seharusnya membangun pemikiran bahwa perempuan itu adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat itu sendiri. Pekerjaan apapun yang dilakukan seorang perempuan seharusnya dihargai.

“Perusahaan dan negara juga mempunyai kewajiban untuk melindungi ketika melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti itu. Tidak semua pekerjaan mungkin bisa dilakukan tapi karena kondisinya akhirnya mereka menjadi seorang driver,” katanya.

Ditambahkannya, fokus utama adalah semua orang harus membangun persepsi yang sama bahwa perempuan harus dihormati.

“Ketika ada pemikiran itu, maka seorang driver ojol perempuan pun tidak harus mendapat ancaman atau pelecehan seksual dalam bekerja.” terangnya.

Kalau masih ada dalam pemikiran masyarakat bahwa perempuan hanya sebagai obyek, maka sampai kapanpun perempuan akan mengalami kekerasan bahkan pelecehan seksual dimana saja mereka berada.

“Ini cukup rentan jika pemikiran masyarakat belum berubah,” tegasnya.

Sejauh ini LBH APIK Jayapura belum pernah menerima pengaduan kekerasan dan pelecehan dari pengemudi ojol perempuan. Pengaduan yang diterima selama ini menurut Nur Aida, umumnya kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Meski belum pernah menerima laporan, menanggapi kekerasan dan pelecehan yang diterima perempuan di dunia kerja, Nur Aida menyatakan semestinya perusahaan melakukan upaya untuk mencegah kekerasan terhadap pekerjanya.

Selain itu perusahaan menurutnya juga mesti bertanggung jawab menyediakan jasa konselor atau psikolog bagi pekerjanya yang mendapat kekerasan maupun pelecehan sehingga pekerja bisa mendapatkan pemulihan dari rasa trauma.

Sementara aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan dari Green Papua,  Zusan Crystalia Griapon mengatakan bahwa hal penting ketika melihat kekerasan pada kondisi masyarakat saat ini adalah dasar seseorang melakukan kekerasan, tetapi juga harus melihat dari lingkungan, pendidikan, dan sistem di negera.

“Karena menurut saya negara setiap hari memproduksi kekerasan, bahkan pemerintah sampai saat ini pun belum mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual,” jelasnya.

Koordinator Project  Penghapusan Kekerasan di Dunia Kerja, International Labour Organitation (ILO) Indonesia, Reti Dyah Sudarto, mengatakan secara umum di Indonesia, dari peraturan-peraturan ketenagakerjaan di pusat dan di daerah, saat ini lebih baik dibandingkan 20 tahun lalu dimana berbagai hak pekerja lebih diperhatikan dan diawasi oleh perusahaan maupun serikat pekerja yang bekerjasama dengan pemerintah.

Namun pada prakteknya isu kekerasan dari tempat kerja masih banyak terjadi atau kurang menjadi prioritas.

“Untuk jenis pekerjaan baru atau sektor baru yang berbasis online karena belum ada aturan khusus yang mengaturnya, dan kadang seperti kurang diperhatikan atau tidak dicakup dalam peraturan ketenagakerjaan padahal di situ ada pemberi kerja dan pekerja juga,” terangnya.

Reti menjelaskan saat ini masih ada kekosongan pada aturan  pemerintah yang mengatur dan mengawasi keselamatan dan kekerasan di tempat kerja sehingga melalui Konvensi ILO 190 mendorong hak-hak untuk mendapatkan perlindungan dan keselamatan di dunia kerja.

Menanggapi platform digital dunia kerja saat ini, peraturan ketenagakerjaan mencakup hubungan ketenagakerjaan yang lebih konvensional dan belum terlalu menjangkau jenis-jenis pekerjaan paltform baru dimana antara pemberi kerja dan pekerja berbeda dari yang sebelumnya. Untuk mengisi kekosongan tersebut, Konvensi ILO 190 mendorong supaya jenis-jenis pekerjaan baik dari platfrom digital saat ini nantinya dimasukkan dalam peraturan maupun kebijakan pemerintah.

Mekanisme yang dapat dilakukan perusahaan tranportasi online saat ini menurutnya agar dapat mengadaptasi perusahaan lain yang sudah mempunyai SOP untuk perlindungan kepada  pekerja atau mitra kerjanya.

“Dilihat sejauh ini sudah ada semangat untuk memperkuat peraturan-peraturan yang sudah ada maupun sudah agak tertinggal. Harapannya semangat dan itikad baik dari pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi ILO No. 190  di Indonesia perlu terus diteruskan. Karena kemajuan berbagai bentuk macam jenis pekerjaan baru yang mendorong produktivitas ekonomi yang terkuat adalah dengan meng-upgrade, memperbaiki, dan menambah peraturan-peraturan tersebut,” jelasnya. (Putri Nurjannah Kurita)

Tinggalkan komentar