Kematian adik Ais Utasad, asal Kabupaten Mamberamo Raya, di Rumah Sakit Dian Harapan (RSDH) Kota Jayapura, akibat buruknya pelayanan kesehatan, membuat saya pribadi sangat sedih dan tidak bisa terima dengan keadaan nasib orang asli Papua seperti ini.
Adik Ais Utasad mempunyai kasus sama dengan adik Napius Dapla. Napius adalah anak seorang pendeta GIDI di Kabupaten Yahukimo, yang juga mengalami sakit tumor. Adik Ais tumor di leher, adik Napius tumor di kepala.
Mereka dua “Dipimpong” dari rumah sakit ke rumah sakit, di Kota Jayapura. Adik Ais ditolak di RSUD Abepura karena masalah BPJS. Dilempar ke Rumah Sakit Provita. Dari Provita ke RSUD Dok 2 dan terakhir di RSDH, dan meninggal dunia di rumah sakit terakhir ini.
Adik Ais dan keluarganya datang jauh – jauh dari pedalaman Mamberamo untuk mencari kesembuhan di kota jayapura, namun harus pulang dengan kondisi sudah meninggal dunia. Sesuatu yang sangat menyedihkan, jika direnungkan.
Adik Napius Dapla juga, hampir bernasib tragis yang sama dengan adik Ais Utasad. Mengalami sakit tumor ganas di kepala. Berkali-kali jatuh pingsan. Datang berobat ke RSUD Abepura dan RSDH. Persoalan BPJS menjadi hantu yang menakutkan. Kondisi tanpa kejelasan status BPJS membuat adik Napius Dapla tidak bisa dilakukan tindakan operasi. Ditolak dan terus dipimpong antara RSUD Abepura dan RSDH.
Setahun kondisinya makin memburuk. Setiap jatuh pingsan, darah sudah keluar dimana-mana. Bapaknya seorang pendeta gereja GIDI, di Kabupaten Yahukimo. Sudah berusaha cari pinjaman uang kemana-mana, sampai 1 tahun lebih, dan akhirnya menyerah dengan keadaan dan takdir hidup keluarga dan anak laki-lakinya.
Mendengar berita ini, saya membesuk adik Napius Dapla dan bapaknya di RSDH Waena. Kondisinya yang sudah sangat kritis, membuat saya harus ambil keputusan. Saya minta pihak rumah sakit segera lakukan tindakan operasi. Semua biaya yang dibutuhkan saya tanggung. Adik dokter Hendrikus Bolly kemudian melakukan tindakan operasi.
Saya kontak anak binaan rohani saya di Jerman, pinjam 40 juta. Dia segera kirim. Saya selesaikan semua biayai tindakan rumah sakit dan kondisi Napius pasca operasi selama 6 bulan.
Menolong seorang anak pendeta GIDI yang sama sekali saya tidak kenal sebelumnya. Akhirnya anaknya bisa ditolong dan saat ini masih hidup dan dalam tahapan pemulihan. Saya rencana mau masukan dia sekolah kedokteran di UI atau UGM tahun ini.
Rencana sekolah kedokteran ini, karena pertama, Napius Dapla ini, anaknya ternyata pintar dan jurusan IPA di SMU. Kedua, untuk melawan vonis dokter bahwa operasi dilakukan dgn resiko saraf kepalanya akan rusak dan tidak bisa lagi normal kembali. Tuhan Yesus buat mujizat. Saraf kepalanya tidak ada yang rusak dan normal semuanya.
Napius Dapla bisa ditolong dan diselamatkan, seharusnya adik Ais Utasad juga bisa ditolong dan diselamatkan. Sayang sekali, adik Ais harus meninggal dunia. Meninggalkan semua mimpinya untuk menjadi seorang guru, di tengah-tengah kekayaan dan uang yang begitu banyak mengalir ke kantong+kantong pejabat Papua.
Orang Papua sudah miskin kasih dan miskin kepedulian kepada mereka yang berkekurangan. Kalaupun kasih uang dan perhatian, itu tindakan yang tidak gratis. Selalu ada motif dan tujuan dibalik memberikan uang dan perhatian atau niat baik untuk membantu seseorang.
Semoga kematian adik Ais Utasad menjadi teguran dan koreksi buat kita semua untuk gunakan hati ketika melayani di tanah Papua. Bukan sekedar kotbah omong kosong tentang kasih, atau sekedar retorika memimpin Papua dengan hati tanpa ketulusan hati wujudkan perbuatan kasih kepada sesama umat Tuhan di tanah Papua.
Oleh: Marinus Mesak Yaung
Calon Walikota Jayapura 2024.
