Diplomasi propaganda isu Papua di PBB oleh WPLO dan ULMWP, secara khusus dalam forum UNPFII 2025, adalah diplomasi OPM yang dimaksud dalam tulisan ini. Dan peristiwa 1 Mei 1961, sebagai kisah refleksi dan pembelajaran tentang dinamika pertarungan diplomasi internasional Indonesia dan elit nasionalis Papua.
Tulisan ini juga bisa menjadi catatan diplomatik buat Presiden Prabowo tentang strategi diplomatik Indonesia untuk perdamaian konflik Israel – Palestina. Karena ada aktor ” setan besar ” dan ” setan kecil ” dalam konstelasi politik internasional, yang memiliki peran strategis membentuk tatanan politik dan hubungan internasional.
Kita kembali ke topik tulisan ini tentang pertarungan diplomasi internasional indonesia dan elit nasionalis Papua di panggung politik internasional.
Diplomasi proganda Free West Papua, yang dilakukan oleh WPLO, ULMWP, di forum UNPFII di New York dari tanggal 21 April – 2 Mei 2025, sempat membuat perwakilan Indonesia di PBB kesal dan melakukan tindakan diplomatik.
Melalui asisten Athan Indonesia di PBB, Letkol Inf. Paulus Tahan Pandjaitan, diambil tindakan tegas diplomatik untuk menghentikan propaganda diplomasi atau diplomasi tipu – tipu kelompok pro – Papua Merdeka ini.
Mengapa Disebut Diplomasi Tipu – Tipu ?
Panggung diplomasi internasional, termasuk forum UNPFII, selalu memiliki rule of game dalam setiap program dan agenda pertemuan. Itu sebabnya, tidak semua isu kontemporer, bisa disuarakan dan diagendakan dalam forum tersebut.
Isu kedaulatan negara ( sovereignty state issue) adalah salah satu isu sensitif dan tabu untuk dibicarakan di forum – forum internasional, diluar forum Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum PBB.
Karena dari kedua forum atau organ utama di PBB inilah, negara – negara berdaulat di dunia, mendapatkan hak kedaulatan negaranya melalui hukum internasional resolusi – resolusi PBB.
Dengan kebiasaan forum internasional seperti ini, maka kampanye Free West Papua di forum UNPFII, forum khusus PBB untuk membicarakan isu – isu strategis penduduk pribumi di seluruh dunia, dicegah dan dihentikan oleh kekuatan diplomasi Indonesia.
Indonesia sebagai negara besar dan menjadi major power actor sentral dan strategis di kawasan Indo – Pasifik, memiliki kekuatan diplomatik yang kuat dan diperhitungkan saat ini di forum PBB.
Dalam kebiasaan tatanan pergaulan internasional antara aktor state dan non-state, kedudukan negara itu lebih tinggi dari pada non – negara. Meskipun dalam tesisinya Nye dan Keohane tentang aktor transnasionalis ( 1971 ), bahwa negara bukan satu – satunya aktor dominan dalam hubungan internasional, ada juga aktor lain, misalnya IGO seperti PBB, namun Nye dan Keohane, setuju bahwa negara masih menjadi aktor paling dominan dalam konstelasi politik internasional.
Sehingga Indonesia sebagai negara, sudah tentu memiliki kedudukan hukum dan politik yang kuat dalam panggung politik internasional. Indonesia bisa mempertahankan kepentingan bangsa dan kedaulatan negara, tanpa dukungan atau campur tangan PBB.
Peristiwa sejarah 1 Mei 1963, adalah bukti kekuatan diplomasi internasional Indonesia tanpa dukungan PBB. Bahkan PBB sendiri menjadi musuh dan tantangan diplomasi Indonesia mempertahan status politik Papua sesuai hukum internasional Uti Possidetis Juris.
Presiden Soekarno sadar bahwa diplomasi isu Papua di forum PBB, hanya diplomasi tipu – tipu dan buang waktu sia – sia. Indonesia kalah terus selama satu dekade diplomasi isu Papua di PBB.
Tahun 1960, Presiden Soekarno berkata kepada PBB, ๐ด๐ผ ๐๐ผ ๐๐ต๐ฒ ๐ต๐ฒ๐น๐น ๐๐ถ๐๐ต ๐๐ผ๐๐ฟ ๐ฎ๐ถ๐ฑ ๐ผ๐ป ๐ฃ๐ฎ๐ฝ๐๐ฎ ๐ถ๐๐๐๐ฒ, dan diplomasi Indonesia fokus pada ” great power actor ” negara Amerika Serikat, untuk mendapat dukungannya.
Dalam perspektif Presiden Soekarno, forum PBB adalah setan kecil ( little’s devil). Sedangkan negara Amerika Serikat adalah setan besar ( big’s devil). Sehingga kalau mau menang diplomasi internasional status politik Papua, harus bicara dengan setan besar, bukan dengan setan kecil.
Tepat tanggal 24 April 1961, bertempat di rumah setan besar bernama White House, di Washington DC, Presiden John F. Kennedy ( Presiden Katolik pertama AS, keturunan Irlandia) dan Presiden Soekarno, sepakat tanda tangan status politik Papua, menjadi bagian sah NKRI sesuai hukum internasional Uti Possidetis Juris.
Presiden Soekarno tahu dan sadar bahwa rumah setan kecil di New York, yakni forum PBB, hanya forum diplomasi internasional ” omon – omon dan tipu – tipu buang waktu. Rumah setan besar di Washington yang menentukan keberhasilan diplomasi internasional Indonesia.
Presiden Jokowi, sebagai pengikut paham Soekarnois, selama 10 tahun berkuasa, juga tidak pernah mau menghadiri forum sidang tahunan PBB, karena hanya forum ” little’s devil ” silaturahmi dan omon – omon buang waktu.
Dengan demikian, diplomasi Free West Papua di forum PBB, secara khusus di organ UNPFII hanya diplomasi omon – omon, tipu – tipu dan buang waktu sia – sia, karena isu Papua, adalah isu kedaulatan, dan PBB tidak akan melawan kedaulatan Indonesia atas Papua, tanpa dukungan negara – negara ” big’s devil ” atau setan besar.
Oleh : Marinus Yaung
Dosen di Jayapura, Papua.
