SENTANINEWS.NET – Jayapura Kota – Dalam rangkaian kegiatan “Bincang Iklim (Biak): Seri Adaptasi dan Mitigasi (Amole)”, SMAN 7 Jayapura bersama sejumlah mitra menggelar bedah buku Perempuan Perkasa karya Rhidian Yasminta Wasaraka, yang menghadirkan diskusi mendalam mengenai ketahanan iklim berbasis kearifan lokal Papua.
Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara SMAN 7 Jayapura, Rumah Belajar Papua, SEAQIS, Yayasan Wasaraka Berkah, Mata Garuda Papua, dan WEA. Acara yang berlangsung pada Kamis, 1 Agustus 2025, di aula SMAN 7 Jayapura ini diikuti oleh puluhan siswa dan siswi dari berbagai latar belakang.
Sebagai narasumber utama, Rhidian Yasminta Wasaraka, S.I.Kom., M.Si., penulis buku Perempuan Perkasa, memaparkan bagaimana
masyarakat adat Papua, khususnya komunitas seperti Korowai, mengembangkan praktik adaptasi dan mitigasi iklim yang selaras
dengan alam dan budaya lokal.
“Ketahanan iklim bukan hanya soal teknologi. Perempuan adat telah menjadi penjaga dapur, api, dan tanah — tiga elemen penting yang menjaga kehidupan dan keseimbangan ekologis,” ujar Rhidian di hadapan para peserta.
Diskusi dipantik oleh Yayan Sopian, S.Pd., M.Si., Ketua Program Sekolah Berketahanan Iklim SMAN 7 Jayapura sekaligus Manajer Program Pendidikan Rumah Belajar Papua. Ia menyampaikan bahwa kegiatan ini sejalan dengan semangat Sekolah Berketahanan Iklim.
“Bedah Buku Perempuan Perkasa selaras dengan semangat Sekolah Berketahanan Iklim, di mana adaptasi dan mitigasi kontekstual yang hidup bersama anak-anak Papua perlu digali, didokumentasikan, dipelajari, dan dijalankan — tidak sebatas di ruang kelas,” jelas Yayan.
Kegiatan ini juga dihadiri secara virtual oleh Komandan Korem 172 Praja Wira Yakthi, Brigjen TNI Tagor Rio Pasaribu, S.E., serta sejumlah guru dan pendidik dari berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Aceh hingga Papua. Kehadiran mereka menandakan dukungan nasional terhadap pendidikan iklim berbasis lokal.
Para siswa mengaku mendapatkan wawasan baru dan lebih percaya diri terhadap peran masyarakat lokal dalam menjaga lingkungan. Mereka merasa bahwa kisah-kisah dalam buku Perempuan Perkasa merepresentasikan nilai-nilai yang dekat dengan kehidupan mereka.
Kegiatan ini turut diapresiasi oleh Ibu Elly, tokoh pendidikan yang aktif di forum-forum internasional. Ia bahkan membawa semangat kegiatan ini ke
dalam diskusi di Forum ASEAN.
“Praktik-praktik ketahanan iklim seperti yang digali dan didiskusikan pada kegiatan Bedah Buku Perempuan Perkasa hendaknya lebih sering dilaksanakan. Ini penting untuk menggali, mempelajari, dan mengimplementasikannya — tidak sebatas hanya di ruang kelas,” tegasnya.
Melalui kegiatan ini, seluruh pihak sepakat bahwa kearifan lokal dan peran perempuan adat merupakan aset penting dalam menghadapi krisis iklim.
Acara ditutup dengan ajakan untuk mengembangkan kegiatan serupa di sekolah lain di Papua.(Redaksi)
